Di tengah arus zaman yang bergerak cepat, manusia kerap terjebak
dalam ilusi bahwa bumi ini adalah milik mutlak yang dapat dieksploitasi tanpa
batas. Padahal, dalam pandangan iman Katolik, sebagaimana digemakan dalam
ensiklik Laudato Si’ bahwa bumi adalah rumah bersama yang dipercayakan
Allah kepada umat manusia untuk dirawat, dijaga, dan dilestarikan.
Seperti yang dipaparkan Ketua Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945
(Untag) Surabaya – J. Subekti, SH., MM. saat menjadi narasumber dalam Webinar
Jagongan Online Bersama Indonesia Merayakan Perbedaan (IMP) yang bertajuk ‘Spiritualitas
Ekologi Katolik, Menjaga Kelestarian Bumi Pertiwi’, Senin, (16/6/2025).
Webinar ini merupakan kegiatan rutin lintas iman yang
mempertemukan berbagai tokoh agama untuk berdialog tentang peran kepercayaan
dalam menjaga kebhinekaan dan kelestarian bumi.
Dalam paparannya, J. Subekti menegaskan bahwa krisis ekologis yang
dihadapi bangsa Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari ulah manusia dan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang kerap abai terhadap prinsip keadilan
ekologis. “Pemaparan kita pada
malam hari ini lahir dari keterpanggilan kita atas kondisi bangsa yang
akhir-akhir ini alamnya tidak sedang baik-baik saja. Kita tidak bisa menutup
mata bahwa eksploitasi besar-besaran, baik lewat kebijakan negara, perilaku
industri, maupun abainya Masyarakat telah merusak sendi-sendi kehidupan alam,” ujarnya.
Secara khusus, J. Subekti menyoroti kawasan Kalimantan sebagai
contoh nyata degradasi lingkungan yang parah. Ia menyinggung deforestasi masif
yang dilakukan atas nama industri, seperti penebangan liar dan pembukaan lahan
besar-besaran untuk kebutuhan kertas dan komoditas lainnya. Dirinya menyebut
Kalimantan yang sejatinya adalah paru-paru dunia, kini mulai kehilangan daya nafasnya. “Apa yang terjadi di Kalimantan
bukan hanya soal pembalakan liar, tapi kegagalan kita memahami bahwa bumi ini
bukan milik kita, melainkan titipan yang harus diwariskan,” lanjutnya.
Dalam perspektif iman Katolik, J. Subekti menegaskan bahwa merawat bumi adalah bagian dari
bentuk kasih. Ini bukan isu sekuler semata, melainkan panggilan rohani. “Ketika
kita mencemari sungai, membakar hutan, dan meracuni udara, artinya kita sedang mengabaikan
amanah Tuhan.”
Sebagai penutup, J. Subekti menyerukan pentingnya dialog lintas
iman untuk membangun solidaritas ekologis. J. Subekti menilai bahwa isu
lingkungan bukan hanya urusan satu agama atau negara, tetapi tanggung jawab
kolektif umat manusia. “Merayakan
perbedaan tidak cukup hanya dengan toleransi. Kita harus menyatukan langkah untuk mengubah cara pandang terhadap lingkungan, dari
yang semula eksploitatif menjadi relasional. Manusia, tidak diciptakan sebagai
penguasa bumi, melainkan penjaga dan mitra kerja Tuhan dalam merawat ciptaan,”
tutupnya. (oy)